MASSA.ID, Jember – Di tengah arus globalisasi yang bergerak begitu cepat, masyarakat sering kali terjebak pada budaya instan dan melupakan akar sejarahnya. Layar gawai, media sosial, dan informasi serba cepat seolah menjauhkan generasi muda dari warisan leluhur yang sesungguhnya menyimpan nilai-nilai luhur. Namun di Kabupaten Jember, muncul sebuah gagasan segar dari seorang sejarawan muda bernama Gazza Triatama Ramdhani. Ia menamainya Mangadhyayaksara, sebuah gerakan membaca dan mempelajari aksara kuno sebagai jalan untuk memahami sejarah Jember secara lebih mendalam.
Secara etimologis, istilah Mangadhyayaksara berasal dari bahasa Sanskerta–Jawa Kuna. Kata mang- berarti melakukan, adhyaya berarti membaca atau mempelajari, dan aksara berarti huruf atau tulisan. Dengan demikian, Mangadhyayaksara bisa dipahami sebagai kegiatan mengaji aksara. Bagi Gazza, kegiatan ini bukan sekadar belajar membaca huruf-huruf tua, melainkan sebuah cara untuk mendengar kembali suara masa lalu yang terukir pada prasasti, naskah, maupun lontar.
Mengapa aksara penting? Karena aksara adalah jendela peradaban. Melalui prasasti, kita bisa memahami bagaimana masyarakat terdahulu menjalani kehidupannya: bagaimana mereka mengatur desa, melakukan ritual, membangun pemerintahan, hingga mewariskan nilai-nilai spiritualitas. Jember, yang selama ini lebih dikenal lewat komoditas tembakau, kopi, dan festival budaya kontemporer, ternyata juga menyimpan jejak penting dalam sejarah Nusantara. Salah satunya adalah Prasasti Congapan bertarikh 1088 M, yang mencatat kehidupan masyarakat desa pada masa Raja Airlangga.
Gazza menyampaikan pendapatnya bawa “banyak generasi muda Jember yang tidak menyadari bahwa tanah tempat mereka berpijak sebenarnya memiliki warisan intelektual yang luar biasa. Karena itu, melalui Mangadhyayaksara, ia mengajak masyarakat untuk membaca Jember lewat aksaranya. Membaca dalam arti yang sesungguhnya: belajar mengenal huruf Kawi, Jawa Kuna, atau bahkan Sanskerta, lalu mencoba menafsirkan makna yang terkandung di dalamnya. Dengan begitu, sejarah tidak lagi hadir sebagai teks kering di buku pelajaran, melainkan sebagai pengalaman hidup yang bisa dirasakan secara langsung”.

Kegiatan Mangadhyayaksara diharapkan memberikan dampak positif yang besar. Pertama, ia menumbuhkan kesadaran sejarah dan kebanggaan identitas lokal. Generasi muda yang mampu membaca aksara leluhur akan merasa lebih dekat dengan akar budayanya. Kedua, kegiatan ini membuka peluang pengembangan ilmu sejarah, epigrafi, dan filologi yang masih jarang disentuh di tingkat lokal. Ketiga, Mangadhyayaksara dapat menjadi inspirasi bagi pengembangan seni kreatif, seperti kaligrafi Kawi, desain grafis berbasis aksara, hingga aplikasi digital pembelajaran aksara.
Tidak berhenti di situ, Mangadhyayaksara juga memiliki nilai strategis bagi pariwisata budaya Jember. Bayangkan bila wisatawan tidak hanya diajak melihat situs-situs sejarah, tetapi juga diajarkan cara membaca prasasti. Pengalaman itu akan memberikan nilai tambah dan kesan mendalam, sekaligus menjadikan Jember sebagai pusat edukasi budaya yang unik.
Gazza sejarawan muda yang fokus pada Epigraf aktif dalam kegiatan sejarah komunitas Kulit Pohon Jember menegaskan, “Bahwa melestarikan aksara sama artinya dengan menjaga jiwa bangsa. Bila generasi muda mampu membaca dan memahami tulisan leluhur, mereka bukan hanya mewarisi huruf, melainkan juga nilai-nilai luhur: kejujuran, kesetiaan, spiritualitas, dan kebijaksanaan. Dari sanalah lahir keyakinan bahwa Jember dapat menjadi pusat kajian aksara di Jawa Timur, bahkan Nusantara”.
Pada akhirnya, Mangadhyayaksara bukan sekadar kegiatan membaca aksara. Ia adalah gerakan budaya yang menghubungkan masa silam dengan masa kini, menyalakan api kesadaran, dan membangkitkan kembali kebanggaan identitas. Melalui gagasan ini, Gazza Triatama Ramdhani membuktikan bahwa membaca Jember berarti membaca aksaranya—dan dari aksara itulah kita menemukan jati diri yang sesungguhnya.***