MASSA.ID, Jakarta – Di tengah kencangnya laju adopsi kecerdasan artifisial (AI) dalam geopolitik global, Indonesia masih fokus membangun fondasi fundamental untuk meraih kedaulatan di bidang ini. Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), Meutya Hafid, menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa terburu-buru dalam mengejar kedaulatan AI. Infrastruktur digital dan pengembangan talenta lokal menjadi dua aspek kunci yang harus diperkuat lebih dulu.
“To be a leader in AI, data center harus kuat. Talentanya juga harus siap, harus unggul,” ujar Meutya dalam wawancara eksklusif bersama Bisnis Indonesia di Jakarta Selatan, Jumat (11/4/2025).
Menurut Meutya, kebutuhan teknologi AI terhadap daya komputasi dan pemrosesan data yang masif menjadikan ketersediaan data center domestik sebagai syarat mutlak. Saat ini, Indonesia masih kekurangan infrastruktur semacam itu, membuat pengembangan AI dalam negeri menghadapi hambatan signifikan.
“AI kan akan memerlukan processing dan kapasitas yang sangat besar. Kalau di sini belum ada, ini akan sulit kita wujudkan. Jadi, kita step by step menuju kedaulatan AI: pertama, infrastrukturnya dulu dibenahi, kemudian talenta digital disiapkan,” jelasnya.
Berbeda dengan pendekatan negara seperti Amerika Serikat dan Tiongkok yang fokus pada pengembangan teknologi dari nol, Indonesia mengusung pendekatan kedaulatan dalam pemanfaatan AI. Ini berarti kemampuan untuk secara mandiri memilih teknologi yang akan digunakan, tanpa tekanan dari kekuatan global.
“Kita belum bisa berdaulat dalam menciptakan AI kita, tapi berdaulat dalam memilih kita mau pakai teknologi yang mana,” kata Meutya. “Tetap seperti diplomasi kita, kita di tengah.”
Indonesia juga menegaskan tidak akan mengikuti tren negara-negara lain yang melarang teknologi tertentu secara sepihak, seperti Deep Seek.
“Ini saya sudah konsultasi ke Pak Presiden. Oh, kita nggak melarang. Kita terbuka,” tegasnya.
Dalam upaya menyiapkan sumber daya manusia, Kemkomdigi menargetkan mencetak sembilan juta talenta digital hingga tahun 2030. Pelatihan digelar bersama mitra global seperti Microsoft dan Google. Namun tantangan besar masih ada: minat masyarakat terhadap program pelatihan ini masih rendah, meski sudah digratiskan.
Untuk mengatasi hal ini, Kemkomdigi menggandeng perguruan tinggi sebagai mitra strategis. Selain itu, Meutya melihat potensi besar di kalangan pelajar SMK.
“Tingkat pelulusannya memang tidak tinggi, which is normal. Tapi justru di tingkat SMK itu sangat kreatif karya-karya AI-nya,” katanya.
Di tengah dominasi AI oleh negara-negara besar, Indonesia memilih untuk aktif mendorong inklusivitas dalam pengembangan AI. Salah satu wujudnya adalah keikutsertaan Meutya dalam AI Summit di Prancis, termasuk dialog dengan Presiden Emmanuel Macron.
“Negara-negara lain, termasuk di Eropa, di luar Amerika dan Cina, merasa bahwa ini sesuatu yang kita nggak boleh didikte. It has to be inclusive. Ini sebuah teknologi yang harus inclusive untuk semuanya,” kata Meutya.
Sebagai bukti komitmen pada pemanfaatan AI yang etis, Indonesia telah menerbitkan Surat Edaran Etika AI, menjadikannya salah satu negara pertama di Asia dengan panduan resmi pengembangan AI yang bertanggung jawab.
Meutya Hafid menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor—dari kampus hingga industri—untuk membangun ekosistem AI nasional yang inklusif, etis, dan berdaya saing global.
“Kalau mau sesuatu yang besar, itu harus berproses,” tutupnya.***