MASSA.ID – Past Life Regression (PLR) merupakan suatu praktik terapi yang mengakui hal ini dapat menguak peristiwa di kehidupan sebelumnya melalui hipnosis. Mengkaji PLR dari sudut pandang biopsikologi sangat penting agar kita dpat memahami apakah peristiwa yang dikuak tersebut benar-benar realitas atau bahkan hanya ilusi yang dipengaruhi oleh factor psikologis dan neurologis.
Meskipun sudah banyak orang yang memberikan pengalaman mendalam selama PLR, dalam analisis biopsikologis ditunjukkan bahwa fenomena ini lebih cenderung ke arah konsep psikologis, bukan memori rill (Spanos, 1996).
Latar Belakang
Past Life Regression (PLR) dalah metode terapi dengan menggunakan hipnonis untuk mengakses ingatan yang dianggap berasal dari kehidupan sebelumnya. Meskipun banyak orang yang percaya akan manfaat terapi ini, tetapi bukti ilmiah yang mendukungnya masih sangat terbatas dan kontroversial.
Penelitian oleh Espallardo dan Higueras (2024) mengamati beberapa pasien yang menjalani PLR sering memberikan kesaksian adanya perubahan positif dalam kondisi psikologis dan emosional mereka. Akan tetapi, para penulis juga mengatakan bahwa efek positif ini kemungkinan besar terjadi dikarenakan adanya perubahan pada tingkat kesadaran selama sesi hipnosis, yang mendukung proses refleksi diri dan pemahaman akan diri sendiri, bukan karena benar-benar bisa mengakses memori nyata dari kehidupan sebelumnya.
Dari hasil studi ini dapat disimpulkan bahwa PLR bisa menjadi alat bantu terapi reflektif, terutama untuk orang-orang yang terbuka akan konsep kehidupan sebelumnya, akan tetapi validitas ilmiah atau bukti empiris dari pengalaman tersebut masih memerlukan penelitian lebih lanjut (Espallardo & Higueras, 2024).
Bukti Biopsikologis Terhadap PLR
Bukti Biopsikologis terhadap Past Life Regression (PLR) menjelaskan bahwa meskipun ada banyak orang memberikan pengalaman yang sangat nyata dan emosional selama terapi ini, pengalaman tersebut kemungkinan besar bukan dari pengalaman kehidupan sebelumnya, melainkan konsep psikologis yang dipengaruhi oleh berbagai faktor neurologis dan psikologis.
Dari sudut pandang neurosains, ingatan manusia dianggap suatu hal yang sangat mudah terpengaruh sugesti dan konteks perasaan. Penelitian oleh Elizabeth Loftus (1997) menjelaskan bahwa memori tidak seperti video yang bisa direkam secara benar, melainkan lebih seperti hasil dari proses rekontruksi yang dapat dimanipulasi. Dalam konteks PLR, Teknik hipnosis dan sugesti yang digunakan pada terapi ini bisa menyebabkan munculnya “ingatan palsu”, dimana pasien merasa yakin telah mengalami sesuatu yang sebenarnya hanya karena dihasilkan oleh proses sugesti terapeutik (Loftus, 1997).
Hal ini diperkuat oleh penelitian Spanos (1996) yang menunjukkan bahwa hipnosis bisa membuat seseorang merasakan pengalaman yang terasa nyata, padahal sebenarnya itu hanya ilusi yang diciptakan oleh pikiran bawah sadar. Artinya, selama sesi PLR, seseorang sangat mudah terpengaruh oleh sugesti, sehingga pengalaman yang dialaminya bukanlah kenangan asli, melainkan hasil dari proses psikologis yang kuat.
Selain itu, pengalaman disosiatif sering muncul dalam PLR, dimana pasien merasa terlepas dari diri sendiri atau dunia sekitar, Hal ini dapat diartikan sebagai pengalaman disosiatif yang dipelajari dalam psikologi dan biopsikologi, yang menjelaskan cara otak mengatasai stress atau trauma dengan menciptakan perasaan terpisah dari kesadaran normal (Putnam, 1997). Meski demikian, pengalaman ini termasuk dalam ranah psikologis, bukan bukti nyata dari kehidupan sebelumnya.
Emosi dan pikiran memiliki peran sangat penting dalam membentuk pengalaman PLR. Penelitian oleh Phelps (2004) menunjukkan bahwa emosi yang kuat bisa membuat ingatan lebih kuat, mempengaruhi cara seseorang memandang sesuatu, dan membuat pengalaman tertentu terasa seperti nyata, meskipun pada dasarnya bersifat subjektif. Emosi tersebut bisa membuat pasien merasa menyadari suatu kebenaran dalam diri mereka selama sesi regresi.
Keterkaitan antara PLR dengan Kesehatan mental juga harus diperhatikan. Beberapa terapis menggunakan PLR sebagai bagian dari terapi untuk kondisi seperti PTSD, dengan mencoba membuka “memori tersembunyi”. Akan tetapi, penelitian oleh Foa (2000) yang membahas terapi eksposur menyatakan bahwa membawa Kembali kenangan traumatis seseorang dengan metode yang kurang tepat justru bisa memperparah kondisi pasien. Oleh karena itu, penggunaan PLR yang tidak menggunakan penduan ilmiah yang memadai bisa berpotensi menyebabkan resiko psikologis.
Selain itu, praktik PLR memiliki dampak etis yang serius. Menghasilkan pengalaman yang terlihat seperti nyata tetapi tidak bisa dibuktikan bisa menimbulkan kebingungan tentang identitas dan masalah psikologis bagi pasien. Terapis perlu memperhatikan secara serius dampak psikologis dari membiarkan pasien percaya pada ingatan yang mungkin tidak benar, sekaligus memastikan tidak adanya kerusakan atau harapan yang keliru.
Secara umum, dari sudut pandang biopsikologis, bukti menunjukkan bahwa PLR lebih mirip sebuah fenomena psikologis yang dipengaruhi oleh sugesti, perasaan, dan cara berpikir seseorang, daripada sebagai bukti fisik dari memori kehidupan sebelumnya. Oleh karena itu, penting untuk bersikap kritis dan etis saat menggunakan PLR sebagai metode terapi, serta diperlukan juga pendekatan ilmiah dalam mengevaluasi manfaat dan dampaknya terhadap kesehatan mental.
Menanggapi Argumen Pro-PLR
Pendukung terapi hipnosis ini sering kali merujuk pada pengalaman pribadi dan data dari hypnosis sebagai bukti kuat bahwa fenomena ini benar-benar ada. Mereka berpendapat bahwa banyak orang merasakan manfaat psikologis dan lebih memahami diri sendiri melalui terapi ini. Namun, dari sudut pandang biopsikologi dan metode ilmiah, klaim-klaim ini perlu dilihat secara skeptis. Penelitian menunjukkan bahwa pengalaman yang dirasakan selama terapi bisa jadi hasil dari sugesti yang kuat atau rekontruksi pikiran bawah sadar, bukan bukti nyata bahwa seseorang pernah hidup di kehidupan sebelumnya.
Kesimpulan
PLR mungkin memberikan pengalaman emosional yang berarti bagi sebagian orang, namun dari sudut pandang biopsikologi, fenomena ini lebih mungkin dianggap sebagai ilusi daripada suatu yang benar-benar ada secara biologis. Penelitian lebih lanjut diperlukan agar bisa memahami pengalaman tersebut secara lebih baik lagi dalam konteks psikologi dan otak. Diperlukan pendekatan yang kritis dan edukasi bagi masyarakat agar menghindari penggunaan konsep yang tidak benar atau tidak terbukti dalam proses terapi.
Referensi
- Espallardo, S. A., & Higueras, I. M. M. Perceived Results of Past Life Regression through Expanded Awareness Analysis. Espallardo–Is. 33.
- Foa, E. B. (2000). Psychosocial treatment of posttraumatic stress disorder. Journal of Clinical Psychiatry, 61, 43-51.
- Loftus, E. F. (1997). Creating false memories. Scientific American, 277(3), 70-75.
- Phelps, E. A. (2004). Human emotion and memory: interactions of the amygdala and hippocampal complex. Current opinion in neurobiology, 14(2), 198-202.
- Putnam, F. W. (1997). Dissociation in children and adolescents: A developmental perspective. Guilford press.
- Spanos, N. P. (1996). Multiple identities & false memories: A sociocognitive perspective. American Psychological Association.
Penulis: Dyvalin Lidyakara (Mahasiswa Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya)




