MASSA.ID – Kepulauan Banda di Maluku dikenal sebagai satu-satunya wilayah penghasil pala dan fuli (mace) pada abad ke-16 hingga ke-17. Rempah ini memiliki nilai ekonomi luar biasa tinggi di pasar Eropa, setara emas. Tak heran jika Banda menjadi incaran berbagai kekuatan asing, mulai dari Portugis, Spanyol, Inggris, hingga akhirnya Belanda melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
Namun, di balik harum rempah, tersimpan tragedi kelam. Tahun 1621, VOC di bawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen melakukan genosida di Banda Naira, membantai ribuan penduduk lokal demi menguasai monopoli perdagangan pala. Peristiwa ini bukan hanya meninggalkan luka sejarah, tetapi juga menjadi titik balik dalam persaingan kolonial di Nusantara.
Latar Belakang: Persaingan Inggris dan Belanda di Banda
Kedatangan Portugis dan Inggris
Menurut Buku Sejarah SMA/SMK Kelas XI Kemendikbudristek (2021)Sebelum Belanda berkuasa, Portugis terlebih dahulu menancapkan pengaruh di Banda. Namun, setelah melemah, posisi mereka digantikan oleh Inggris melalui British East India Company (BEIC) yang mulai berdagang langsung dengan penduduk lokal Banda.
Kehadiran Inggris memberi alternatif bagi Orangkaya Banda, sebutan untuk pemimpin dan saudagar setempat. Mereka dapat menjual pala dengan harga lebih tinggi, tanpa harus tunduk pada monopoli Belanda. Hal inilah yang membuat hubungan Inggris-Orangkaya Banda relatif harmonis.
Pieterzoon Verhoeven dan Benteng Nassau
Ketika Pieterzoon Verhoeven, perwakilan Belanda, tiba di Banda, ia mendapati Inggris sudah lebih dahulu menjalin hubungan dagang dengan masyarakat. Merasa posisinya terancam, Verhoeven segera membangun Benteng Nassau di bekas benteng Portugis sebagai simbol kekuatan Belanda.
Namun, langkah ini memicu kemarahan rakyat Banda. Dalam sebuah perlawanan, Orangkaya Banda membunuh Verhoeven dan 26 orang Belanda lainnya. Satu-satunya saksi penting peristiwa ini adalah Jan Pieterszoon Coen, yang saat itu masih menjabat sebagai juru tulis VOC.
Ekspedisi Coen: Dari Dendam ke Genosida
Jan Pieterszoon Coen Jadi Gubernur Jenderal
Dua tahun setelah peristiwa pembunuhan Verhoeven, Coen diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC. Ia membawa dendam pribadi sekaligus ambisi besar VOC: menjadikan Banda sebagai pusat monopoli pala dunia.
Serangan 1621 ke Banda
Pada tahun 1621, Coen memimpin ekspedisi militer besar-besaran ke Banda. Pasukan yang ia bawa terdiri dari:
- 1.600 prajurit Belanda,
- 300 narapidana Jawa,
- 100 samurai Jepang,
- serta sejumlah budak.
Serangan ini dirancang bukan hanya untuk menundukkan Banda, tetapi untuk menghancurkan seluruh perlawanan lokal.
Pembantaian Massal
VOC melakukan penyerangan sistematis. Sebanyak 44 Orangkaya Banda ditangkap dan dieksekusi di depan publik. Penduduk sipil pun menjadi sasaran. Dari total sekitar 14.000 penduduk Banda, hanya tersisa 480 orang. Sisanya tewas dibantai atau melarikan diri ke wilayah lain, seperti Pulau Kei.
Mereka yang selamat sebagian besar dibawa ke Batavia sebagai budak. Sejak itu, demografi Banda berubah total: VOC mengimpor budak dari Jawa, Bali, India, dan Afrika untuk bekerja di perkebunan pala.
Ambisi VOC: Monopoli Pala dan Kolonisasi Banda
Dengan menyingkirkan penduduk asli, VOC memaksakan sistem perken (perkebunan pala) yang diawasi langsung oleh pejabat Belanda. Banda dijadikan koloni penuh, bukan sekadar pos dagang.
Sistem ini menjadikan VOC sebagai satu-satunya penguasa rempah pala dunia. Harga pala di Eropa meroket, menguntungkan kongsi dagang Belanda secara luar biasa. Namun, keberhasilan ekonomi ini dibayar mahal dengan genosida dan hilangnya kedaulatan rakyat Banda.
Eksekusi di Ambon dan Memanasnya Hubungan Inggris–Belanda
Kasus Prajurit Jepang
Dua tahun setelah tragedi Banda, Belanda menangkap seorang samurai Jepang yang bekerja sebagai prajurit upahan VOC. Ia dituduh mengajukan pertanyaan mencurigakan tentang pertahanan benteng di Ambon.
Dalam interogasi, ia mengaku bahwa hal itu terkait dengan rencana pedagang Inggris untuk merebut benteng Belanda.
Eksekusi 21 Orang Inggris
VOC segera bertindak. Sebanyak 21 orang Inggris, termasuk 10 pedagang resmi BEIC, dieksekusi mati di Ambon. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Amboyna Massacre (1623).
Dampak Global
Berita pembantaian orang Inggris baru sampai ke London setahun kemudian, memicu kemarahan publik. Sejak itu, hubungan Inggris–Belanda memanas. Inggris akhirnya mengalihkan fokus perdagangan mereka ke India, meninggalkan Nusantara kepada dominasi VOC.
Dampak Tragedi Banda bagi Nusantara dan Dunia
- Genosida Terbesar di Nusantara Era VOC
Peristiwa 1621 di Banda menjadi salah satu catatan kelam sejarah kolonialisme. Rakyat Banda nyaris punah akibat kebijakan monopoli VOC. - Perubahan Demografi Banda
Setelah pembantaian, Banda dihuni oleh pekerja paksa dari berbagai wilayah. Identitas asli masyarakat Banda hampir hilang. - Kemenangan VOC atas Inggris
Dengan mengusir Inggris, VOC memonopoli perdagangan rempah Maluku. Namun, peristiwa ini juga menyisakan dendam panjang dalam rivalitas kolonial Eropa. - Luka Kolektif Sejarah Indonesia
Tragedi Banda Naira menjadi simbol bagaimana kolonialisme tidak hanya mengeksploitasi ekonomi, tetapi juga memusnahkan manusia dan budaya lokal.
Analisis Sejarawan dan Relevansi Masa Kini
Sejarawan mencatat bahwa peristiwa Banda bukan sekadar “strategi dagang” VOC, melainkan genosida terencana. Jan Pieterszoon Coen bahkan dipandang sebagai arsitek kebijakan kolonial yang brutal.
Di sisi lain, peristiwa ini memperlihatkan bahwa kolonialisme Eropa bukanlah proses damai, melainkan berdarah-darah. Kekerasan menjadi instrumen utama dalam mempertahankan monopoli.
Hingga kini, Banda Naira tetap menyimpan memori kolektif tragedi tersebut. Perkebunan pala masih ada, tetapi keharuman rempah selalu bercampur dengan aroma duka sejarah.
Tragedi berdarah Banda Naira tahun 1621 adalah salah satu babak paling kelam dalam sejarah Indonesia. Di bawah Jan Pieterszoon Coen, VOC melakukan genosida massal demi memonopoli pala. Peristiwa ini tidak hanya mengubah wajah Banda, tetapi juga memengaruhi dinamika global, termasuk persaingan Inggris–Belanda di Asia.
Memahami sejarah Banda bukan hanya mengenang masa lalu, tetapi juga pelajaran penting agar tragedi serupa tak terulang: bahwa keserakahan atas sumber daya bisa melahirkan kejahatan kemanusiaan yang begitu besar.***